Memutus Garis Nasab "Abangan"

 


Malam-malam bulan puasa tahun ini ada yang menarik untuk saya cermati. Ada pelajaran berharga dari seseorang yang mencoba membangun generasi kebanggaan. Pelajaran itu justru datang dari seseorang yang belum mengenal agama. 


Seperti malam itu, Pak Jasmani duduk diam tak beranjak dari tempatnya. Sudah tiga jam lebih dia duduk disana, didepan musholla Babusalam. Dan seperti ditempat lain pada malam bulan puasa, musholla Babusalam semarak dengan bacaan tadarus Alquran.


"Kok betah duduk di sini, Pak Jas? Tak lihat sejak habis tarawih sampai sekarang masih disini"


"Nungguin Topan tadarus, Om. Mendengar suara Topan ngaji, tenang hati ini, Om. Tinggal bapaknya saja sekarang yang belum dapat hidayah. Gimana caranya, Om?"


"Segera tobat saja, Pak Jas. Umur itu pendek dan tidak bisa diduga datangnya"


"Pancet ae ceramah agamanya, Om. Itu itu saja. Gak nyentuh hati blass"


"Mbuh wis. Memang mulutku yang kotor hingga tidak bisa masuk hati orang"


"Alhamdulillah, pean sadar. Wkwwk" lalu Pak Jasmani ngakak sambil nyebul asap rokoknya.


Hidayah itu unik. Benar-benar dalam otoritas Allah. Pak Jasmani itu rumahnya persis di sebelah musholla. Hanya satu dua langkah kaki bisa masuk di musholla. Tapi sampai hari ini dia belum pernah masuk musholla untuk sholat. Bahkan pada saat orang sholat jamaah maghrib ia sudah biasa duduk depan musholla sambil merokok. Dan telanjang dada pula.


Untuk membayangkan betapa "tidak ada akhlak nya" dia ini, pada suatu hari dia sholat di tempat kerja. Apa kata teman-temannya setelah melihat keanehan itu?


"Kamu itu kesurupan setan darimana kok bisa sholat?"


Sebegitunya..


Lalu, Topan, anak bungsu nya itu seperti keajaiban. Dia sendiri yang bilang. Saya juga merasakan hal itu sebagai keajaiban.


"Topan itu ajaib. Semua orang bilang ajaib. Pamannya, pak dhe nya, neneknya dan kakeknya bilang ajaib. Karena dari dari garis keturunannya, mulai dari debog bosok, gantung siwur, wareng atau apa namanya gak ada yang paham agama. Gak ada yang bisa ngaji. Tapi Topan ini ngaji pinter, baca kitab kuning pinter dan akhlak sama orangtua, Ya Allah, emas bener dia, Om"


Mendengar itu saya ngakak sebentar. Lalu sembab airmata.


Topan, saya ingat betul sekali ketika pertama kali ia dibawa oleh ibunya ke tempat saya untuk mengaji. Masih umur TK A. Dan saya juga ingat betul ustadzah yang mengajarnya waktu itu bilang: 


"Apa dia bisa ngaji? Dia sangat lambat. Seperti, maaf, idiot"


"Jangan putus asa, ustadzah. Tugas ustadzah hanya mengajar. Selepas itu kita tidak punya hak untuk mengukur dan menilai dia. Asal dia datang ngaji, ya di ajar. Meski dia datang ngaji kemudian disini dia tidur, ya biarkan saja dia tidur. Pokoknya asal dia mau datang ngaji, itu sudah sangat sangat baik. "


Sungguh tidak mudah mengajar ngaji kepada anak seperti Topan itu. Ketika datang, dia sering tidur di kelas. Ketik di tegur karena bacaannya salah, dia nangis.


Sering juga dia datang ngaji dengan kaos sepak bola, tidak mandi, bau kecut, setelah itu tidur di kelas.


Sembilan tahun dia ngaji seperti itu. Sembilan tahun, meski merangkak, sampai tujuan juga. Dia sudah sampai pada pelajaran materi Ghorib saat dia masuk kelas 1 SMP.


Asal berjalan, meski dengan merangkak, sampai juga.


Cerita belum sampai. Oleh ketua RT dia daftarkan mondok bersama tiga anak sebaya nya. Pak RT sendiri yang menanggung biaya pendidikan plus biaya hidup di pondok.


Yang dua melarikan diri dari pondok, sedangkan Topan tetap bertahan di pondok.


Dimulai dari sinilah perubahan itu dimulai. Topan yang sering menangis dan tidur di kelas, tetap cengeng di pondok. Wali pondok sering melaporkan kepada orangtuanya tentang apapun yang terjadi selama di pondok. 


"Bapak harus ikhlas, apapun yang terjadi selama di pondok, serahkan dan percayakan semua kepada guru di pondok. Bapak sebagai orangtua banyak-banyak berdoa saja. Banyak-banyak kerja juga". begitu nasihat saya pada Pak Jasmani setiap kali mendapatkan laporan dari pondok. 


Lalu pada suatu hari dia datang ke rumah, membawa laporan pendidikan anaknya itu. Dia minta kepada saya melihatnya. Karena dia sendiri tidak tahu bagus atau jelek nilai raport anaknya itu. 


Aneh, nilainya rata-rata sembilan. Bahkan nilai hapalan juz 30 nilainya mumtaz. 


" Pasti ada tetesan berkah dari doa-doa dari silsilah keturunan kita. Mungkin bukan di canggah, wareng atau galih asem. Bahkan bisa jadi tetesan berkah dari Trah Tumerah. Lalu kita sebagai orangtua yang menempa berkah itu." 


Pak Jasmani tersenyum bahagia dan bangga. Karena ia bisa melihat bahwa sesudah kehidupannya berakhir ia meninggalkan anak yang bisa mendoakan dirinya. 

Sekarang Topan tercatat sebagai mahasiswa UINSA Surabaya setelah sebelumnya menjadi santri di Al-Ishlah Gresik. 



InsyaAllah.

0 Komentar